Seorang pria yang selalu keluar rumah setiap pagi dan kemudian kembali
pulang saat sang fajar sudah berada di peraduannya, dialah ayah kita. Seorang
pria yang kita panggil dengan panggilan Ayah tersebut tak kenal waktu untuk
bekerja demi memberikan kita hidup yang layak. Seorang pria yang begitu
menyanyangi kita anaknya lebih dari
apapun. menganggap kita sebagai harta miliknya yang tak ternilai harganya.
memberikan apa yang kita butuhkan, meski kadang sebelum kita memintanya. tapi
sayang, jarang orang yang menyadari hal ini.
pernahkah kita melihat sosoknya dari sisi yang berbeda? coba lihat raut
wajahnya yang kadang terlihat begitu galak saat marah. coba jangan lihat wajah
itu, tapi lihat mata itu saat marah. lihat matanya lebih dalam. mata yang
menggambarkan kekecewaan dan rasa bersalah. merasa kecewa pada kita anaknya
yang tak pernah mau mendengarkan setiap nasehatnya. merasa kecewa pada kita
anaknya karena tak pernah mau memperdulikan setiap kata-katanya. dan tentunya
merasa bersalah. merasa bersalah karena kita yang begitu dia harapkan bisa
menjadi anak yang soleh/solehah ternyata tak bisa menjadi seperti yang dia
harapkan. merasa bersalah karena dia menganggap dirinya tak bisa mendidik dan
mengarahkan kita pada hal-hal yang baik. tapi kita tak pernah bisa melihat hal
itu.
tak jarang dia sering terlihat hanya diam. tidak mengatakan apa-apa. tidak
melakukan apa-apa. tapi dia selalu memberikan dukungannya pada kita. dia selalu
memberikan perhatiannya pada kita meski hal ini kadang tak terlihat. dia memang
tak pernah terlihat menangis di depan anak-anaknya. bukan karena dia memang
begitu super, tapi karena dia ingin terlihat kuat di depan anak-anaknya. dia
tak ingin melihat anak-anaknya menjadi manusia yang lemah dan gampang putus asa
terhadap tantangan dunia yang begitu keras. tapi, tahukah kita akan hal
tersebut?
seorang pria yang tak rela melihat anaknya diperlakukan tidak baik. seorang
pria yang tak rela ketika melihat anaknya dipermainkan. dialah orang pertama
yang akan pasang badan untuk kita saat melihat kita terancam. tapi kita tidak
pernah bisa melihatnya. kita hanya tahu bahwa seorang ayah adalah sosok seorang
pria yang menyandang status kepala keluarga yang tugasnya hanya mencari nafkah
untuk istri dan anaknya. tapi, pernahkah kita menyadari hal tersebut?
masih begitu melekat dalam benak ini saat sosok seorang pria yang kupanggil
ayah ini begitu sabar mengajariku segala hal. dia yang begitu semangatnya saat
mendaftarkanku masuk sekolah dasar meskipun hanya berbekal sebuah sepeda kayuh.
dia yang begitu menyanyangiku, ketika itu baru saja dia pulang dari bekerja
tapi aku sudah merajuk untuk mengajariku pelajaran hari itu. dengan keras dia
mengajariku.hingga akhirnya dengan perlahan aku mulai bisa membaca, berhitung,
dan mengerti segala hal. dia tak pernah protes saat aku memaksanya mengerjakan
tugas sekolahku.
masih teringat dalam bingkai kenangan ini bahwa dia begitu sabarnya
merawatku kala aku sakit. berada di sisiku saat aku membutuhkan bantuannya.
membelikanku buku bacaan dan banyak makanan agar aku segera sembuh dari sakitku.
dia adalah orang yang keras saat aku pertama kali melihatnya. tapi aku tersadar
saat aku berada di bangku sekolah dasar. ketika itu adalah hari pembagian rapor
pada wali murid. melihat nilaiku yang turun kala itu, aku pikir dia akan
memarahiku sama seperti saat aku tak segera mengerti ucapannya saat
mengajariku. tapi ternyata aku salah. dia memanggilku, menyuruhku duduk di
pangkuannya. kemudian pelan dia mengusap rambutku dengan terus tersenyum seraya
berkata, "kenapa? kok nilainya bisa turun? apa yang belum bisa kamu
pahami? apa kamu nggak belajar? kenapa?" begitulah kalimatnya dengan
begitu pelan dan sabar saat itu. sungguh, aku tak bisa berkata apa-apa saat
itu. hanya bisa menahan air mata. bukan karena melihat nilaiku. tapi karena
melihat ternyata begitu besarnya perhatian dan kasih sayangnya padaku, pada
kita anaknya.
mata ini tak bisa menahan air mata. amarah ini tak bisa terbendung saat
mendengar ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. mereka
tak mengenalnya dengan baik. tapi mengapa mereka begitu tak menyukainya. apapun
yang mereka katakan tentangnya, dia tetap saja ayahku yang begitu kuat dan
hebat. tak peduli apa kata orang, dimatanya kita tetaplah anak yang selalu dia
banggakan dimanapun dia berada, meski kita tak pernah mendengar langsung dari
mulutnya. seorang pria yang begitu kagum dan bangga pada kita tapi tak pernah
menunjukkan hal tersebut secara terang-terangan di depan kita anaknya. tapi,
akankah kita bisa mengerti hal tersebut?
ayah. sosok pria sederhana yang selalu berdoa untuk keselamatan kita saat
keluar rumah.sosok pria yang menangis dalam hatinya saat melihat kita anaknya
di wisuda. dia begitu bangga memiliki kita. tapi, selama ini banggakah kita
padanya?
ayah. dia bukanlah seorang manusia super seperti superman. dia hanyalah
seseorang yang selalu berada di belakangmu saat kau akan terjatuh, dia akan
menarikmu kembali ke tempatmu semula. seorang pria yang punya tanggung jawab
besar terhadap istri dan anaknya saat
berada di dunia. bahkan dia masih saja harus bertanggung jawab atas segala
tingkah dan laku istri dan anaknya selama hidup di akherat saat berada di
akherat kelak.
sayangilah ayah kita sama seperti dia menyanyangi kita melebihi dirinya
sendiri. sayangi mereka sebelum semuanya terlambat. jangan tunggu hingga kita tak bisa mendengar
setiap nasehatnya lagi. karena waktu tidak akan bisa diulang kembali. jangan
biarkan dirimu termasuk dalam golongan orang yang menyadari bahwa begitu
berharganya seseorang itu setelah orang tersebut menjauh, hingga pada akhirnya
menghilang untuk selamanya.
terima kasih ayah, terima kasih atas segalanya. terima kasih untuk setiap
nasehat, pengorbanan, dan peluhmu yang menetes selama ini demi kami
putra/putrimu.
Pertama kali melihatnya di tengah
keramaian bazar, mata Boni seperti berhenti berkedip. Dan jantungnya serasa
berhenti berdetak sejenak menikmati keindahan yang telah diciptakan Tuhan
dengan begitu sempurnanya. Seorang cewek yang melihat ke arahnya dengan tatapan
mata dingin dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai, membuatnya terlihat
begitu cantik. Cantik alami. Lama dia menatapnya, entah apa yang dia perhatikan.
Hingga pada akhirnya dia membuang pandangannya dan kemudian berjalan menjauh.
Dan Bonipun tersadar bahwa kini dia telah menghilang di telan kerumunan orang
yang datang malam itu.
Sudah seminggu berlalu setelah bertemu
dengan cewek tersebut, tapi wajahnya masih saja bergentayangan di memori otak
Boni. Berusaha buat membuang memori tersebut, tapi justru malah timbul rasa
penasaran. Ingin tahu siapa dia dan kenapa dia bisa menatapnya sampai seperti
itu.
"Eh, Boni... Punya kerjaan baru Lo?"
Vino sahabat karib Boni yang datang mengagetkan. Membuyarkan lamunannya tentang
cewek itu. Sungguh sahabat yang tidak pengertian.
"Sialan Lo! Bikin semua kacau aja.
Baru juga mulai, udah ganggu aja. kampret!" umpat Boni pada Ivan yang
melihatnya dengan wajah tanpa dosa. Dan itu adalah salah satu hal yang paling
Boni benci dari sahabatnya tersebut.
"Yaelah, habisnya tiap hari nglamun
mulu... Mikirin apa sih? Masih penasaran sama cewek yang Lo temuin di bazar
seminggu yang lalu?"
"Gitulah..." jawab Boni singkat.
"Denger ya, kalo jodoh juga nggak
akan kemana... Inget tuh
baik-baik."
Celoteh Ivan sambil berlalu. Ivan memang
anak yang urakan, tapi apa yang dia ucapkan bagaikan sebuah tetesan air di
tengah panasnya padang pasir. Dari mulutnya jugalah keluar kalimat-kalimat
ajaib yang entah darimana didapatkannya. Setiap apa yang dia ucapkan selalu
saja tepat sasaran.
"Eh, Boni! Mau langsung pulang
Lo?" tanya Ivan saat kami baru saja keluar kelas setelah menyelesaikan jam
kuliah mereka.
"Kenapa?"
"Sepupu Gue dari Jawa lagi main
kesini. Udah seminggu yang lalu sih datengnya... Hari ini Gue disuruh nemenin
buat jalan-jalan. Ikut yuk!"
"Ngapain... Emang Gue tour guide apa?
Kagak ah. Males. Mau
tidur aja di rumah."
"Ayo dong! Lo yang sering kelayapan
tiap hari pasti tahu tempat-tempat kece kan? Gue beliin apa yang Lo mau deh ntar... Gue
kabulin apa yang Lo mau dari Gue deh... Pliisssss..."
Melihat tampang Ivan yang sudah memasang
wajah melasnya, tentu aja Boni nggak tega dan akhirnya ikut saja dengannya
menemui sepupunya yang datang dari Jawa itu.
"Kita ketemunya disini?" tanya
Boni setelah mereka sampai di depan sebuah losmen sederhana.
"Dia nginepnya disini. Makanya nyokap
sekalian nyuruh doi buat pindah ke rumah Gue. Jadi kan Lo bisa bantu-bantu angkat
kopernya sekalian.Hahahaha..."
"Sialan."
Akhirnya firasat buruk Bonipun memang
benar terjadi. Pasti ada satu dua hal yang tidak mengenakan. Dan ternyata hal
itu memang benar terjadi. Si Ivan sialan sengaja mengajak Boni ternyata bukan
hanya sekedar untuk menemaninya berkeliling namun juga membantunya mengangkat
koper. Sungguh keterlaluan sahabat Boni yang satu ini.
"Mana sih sepupu Lo itu? Lama banget
ditungguin. Nggak sadar apa kalo lagi ditungguin." keluh Boni pada Ivan
yang tengah santainya menghisap sebatang rokok sambil duduk di kursi depan
mobil dengan pintu yang dibiarkan terbuka
"Tungguin aja. Masih mandi kali.
Nggak sabaran banget sih Lo!" jawabnya sambil mengepulkan asap rokok dari
mulutnya.
"Tuh dia." tunjuk Ivan yang
kemudian berdiri keluar mobil dan mematikan rokoknya.
Sungguh mengejutkan. Entah ini hanya suatu
kebetulan saja atau mungkin ini adalah takdir, entahlah. Itulah yang dipikirkan
Boni saat melihat seoorang cewek yang keluar dari pintu losmen dengan menarik
sebuah koper kecil sambil tak hentinya memamerkan senyum manisnya. Sungguh
sangat cantik, itulah kalimat yang terus berputar-putar di kepala Boni.
"Dia? Dia sepupu Lo?" bisik Boni
pada Ivan yang tengah sibuk melambaikan tangannya dengan terus memasang senyum
lebar di wajahnya yang dengan sialnya juga, Ivan hanya diam saja tidak menjawab
pertanyaan Boni.
"Hai, Mega! Maen kesini nggak
ngomong-ngomong. Untung budhe nelpon Mama buat ngasih tau kalo kamu ada di
sini." Ivan basa basi.
"Maaf, Van... Jadi ngrepotin. Padahal
niatnya kesini mau maen bentar sekalian nyari tempat kuliah yang bagus trus
pulang. Eh Mama kamu ngasih tahu kalo suruh nginep lebih lama aja. Ya
udah..." terang cewek yang dipanggil Mega oleh Ivan.
"Ehm..." gumam Boni pelan.
"Oiya, kenalin nih temen aku Boni. Dan Bon, ini adik
sepupu Gue Mega yang Gue ceritain." Ivan coba memperkenalkan setelah menyadari keberadaan
Boni di sampingnya.
Boni yang langsung mengulurkan tangan
segera saja dijabat kembali oleh Mega dengan ramah. Lembut tangan dan manis
senyumnya membuat mata Boni tak ingin beranjak menatapnya. Sungguh pesona cewek
ini berhasil menghipnotis otak Boni.
Setelah memutuskan akan pergi kemana yaitu
pulang terlebih dahulu ke rumah Ivan, Ivanpun dengan sigap segera melajukan
mobilnya di tengah keramaian kota. Mata Boni yang kadang mencuri pandang pada
Mega yang sedang duduk di kursi belakang lewat kaca spion membuat Ivan yang
menyadari hal itu penasaran dan ingin tahu.
Keesokan harinya saat Mega diajak Ivan
untuk melihat-lihat kampusnya, karena siapa tahu Mega berminat untuk melajutkan
pendidikannya di tempat yang sama dengannya dan Boni sahabatnya menimba ilmu
tersebut.
"Bukannya kita pernah ketemu, ya? Di bazar seminggu
yang lalu bukan?" Mega membuka pembicaraan saat Ivan meninggalkan mereka
berdua karena masih harus menyelesaikan mata kuliahnya yang lain.
"Apa?! Kamu masih inget
ternyata..." Boni yang mulai salah tingkah dengan kalimat Mega langsung
saja menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal tersebut.
Megapun hanya menjawabnya dengan tersenyum
dan kemudian melanjutkan membaca brosur kampus yang diperoleh dari Ivan.
”Boleh nanya...” akhirnya Boni
memberanikan diri memulai pembicaraan hingga membuat Mega menghentikan membaca
brosur yang ada di tangannya dan menoleh pelan ke arah Boni.
”Kenapa waktu itu, pas kita ketemu di
bazar... Kenapa kamu bisa ngeliatin aku sampai lama gitu...” Boni melanjutkan
kalimatnya setelah mendapatkan anggukan dari Mega tanda mengizinkan Boni untuk
bertanya.
”Itu... Itu karena wajah kamu ngingetin
aku sama almarhum kakakku. Mirip banget. Dia baru meninggal 3 tahun yang lalu
karena kecelakaan.” jelas Mega pada Boni yang terus mendengar dan mencerna kata
demi kata yang keluar dari mulut Mega dengan penuh konsentrasi.
Mendengar penjelasan Mega, jelas membuat
Boni lega. Akhirnya semua teka-teki yang menyelimuti hatinya terungkap sudah.
Mulai dari siapa cewek yang dia temui di bazar seminggu yang lalu hingga kenapa
dia bisa menatap Boni sampai seperti itu terjawablah sudah.
Tiga hari bersama membuat Boni semakin tak
bisa mengendalikan rasa sukanya pada Mega. Mega yang manis, sangat baik, sopan,
lemah-lembut khas gadis Jawa telah membuat Boni ingin segera memilikinya
sebagai pendamping hidup yang selama ini dia dambakan. Sayangnya tampang keren,
penampilan oke, dompet tebel, dan kepopuleran Boni tidak bisa begitu saja
meruntuhkan hati Mega. Banyak cewek di kampus yang ingin menjadi pacar Boni
harus rela ditolak berkali-kali hingga harus menanggung malu. Tapi kenapa
pesona Boni ini seperti tidak mempan untuk Mega, cewek yang begitu disukai Boni
itu.
Setelah semalaman berpikir keras, akhirnya
Boni memutuskan untuk mengutarakan rasa sukanya pada Mega hari ini juga. Karena
Boni takut akan terlambat. Jadi, sebelum semuanya terlambat lebih baik Boni
memilih untuk melangkah terlebih dahulu. Tapi, sebelum dia berangkat bertempur
tentu saja dia harus berpamitan pada sahabat satu-satunya, Ivan. Karena
bagaimanapun juga mereka sudah seperti saudara sendiri.
”Hei, brother!!!” sapa Ivan saat melihat
Boni berjalan ke arahnya saat itu.
”Kemana sih, dicariin susah amat. Udah
kayak kutu Lo!” canda Boni sesampainya di tempat Ivan duduk.
“Kampret... Kutu... Tumben hari ini keren
banget. Ada apa nih...” akhirnya Ivan menanyakan hal tersebut. Jadi Boni tidak
perlu repot-repot harus memulai darimana dia akan bercerita.
”Emm... Gue udah nemuin siapa cewek yang
Gue temuin di bazar. Dan Gue berencana buat nembak dia hari ini juga, bro. Gue takut telat, ntar
malah berabe lagi semuanya.” Boni mulai berbicara.
“Hah?! Masih kepikiran aja sama cewek
misterius itu. Trus, anak mana tuh
cewek...”
”Jangan sekarang. Ntar kalo udah sah Gue
kenalin dia ke Lo. Lagian Lo juga kenal kok sama tuh cewek.”
”Gue? Gue kenal tuh cewek? Siapa? Anak
kampus sini juga berarti... Tapi siapa sih bro?” Ivan yang mulai penasaran
terus memaksa Boni untuk menceritakan semuanya.
”Oiya, Gue juga mau ngasih tau kalo minggu
depan Gue bakalan tunangan.” Ivan yang coba memberitahu kabar baik ini pada
sahabatnya tentu saja membuat Boni sangat terkejut.
”Tunangan? Tunangan sama siapa? Monyet?”
goda Boni pada Ivan yang terlihat berseri-seri saat mengatakan hal tersebut.
”Sialan. Ya sama cewek lah. Bentar lagi
dia kesini. Ntar Lo juga tahu siapa calon tunangan Gue itu. Mukenye nggak asing
kok buat Lo.” tutup Ivan yang membuat Boni semakin penasaran. Karena pasalnya, Ivan
tak pernah terlihat jalan berdua dengan seorang cewek. Bahkan Ivan juga tak
pernah menceritakan sosok cewek yang sedang dekat dengannya akhir-akhir ini,
meskipun mereka selalu menceritakan semuanya layaknya saudara. Jelas saja
perubahan Ivan ini membuat Boni takut akan hal-hal buruk yang terjadi pada diri
Ivan yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri itu.
Tak lama menunggu, kemudian datanglah
seorang cewek yang berjalan ke arah Boni dan Ivan duduk dengan anggun dan
senyum yang terus terpasang di wajahnya. Rambut sebahu yang dibiarkan terurai
terus bergerak seiring dengan langkah kakinya. Sesekali membenahi rambutnya
yang terkadang menutupi wajahnya karena diterpa angin. Mega. Mega yang begitu
mempesona kala itu membuat mereka berdua hanya diam mematung melihat salah satu
keindahan dunia yang diciptakan Tuhan dengan begitu sempurnanya.
”Dia...” ungkap Boni dan Ivan pelan secara
bersamaan. Membuat mereka saling menatap dengan muka serius.
”Van...” panggil Mega pelan saat tiba di tempat Boni dan Ivan duduk
bersama. Suara tersebut membuat tatapan mata kedua sahabat tersebut terlepas
satu sama lain dan segera melihat ke arah suara tersebut. Melihat Mega yang
sudah berdiri di depannya, Ivan segera berdiri di samping Mega dan merangkulnya
mesra. Suatu pemandangan yang aneh di mata Boni untuk ukuran sebuah hubungan sepupu.
Tapi Boni coba untuk memakluminya. Meski ada sedikit rasa cemburu dalam
hatinya.
”My
brother... Ini adalah cewek yang Gue ceritain tadi. Tunangan Gue. Mega.” Ivan membuka suara
yang jelas membuat Boni kaget setengah mati. Bola mata Boni yang langsung
melotot seperti ingin keluar dari tempatnya membuat Ivan merasa seperti telah
membuat Boni terkejut setengah mati.
”Apa?!?! Mega tunangan Lo? Kalian sepupuan
kan? Gue nggak ngerti. Dan
kalo ini cuma jokes. Lo tau ini nggak lucu Van.” Boni akhirnya berani bersuara.
Ivan jelas terkejut dengan sikap Boni yang
menurutnya sedikit berlebihan. Ivan yang memang sama sekali tidak tahu
bagaimana perasaan Boni saat ini tentu saja dia akan berpikir demikian.
”Gua cabut dulu deh. Males Gue lama-lama
disini.” Boni yang sudah tak
bisa menahan amarahnya segera pergi begitu saja. Melihat sikap aneh sahabatnya
tersebut, Ivan segera menyusul Boni.
”Lo kenapa sih, Bon?? Kok Lo gini.”
”Gue kayak gini?? Kayak apa menurut Lo?
Sahabat yang udah Gue anggep kayak saudara sendiri nipu Gue!! Nusuk Gue dari
belakang!! Anjing Lo!!! Bangsat!!! Gila ya... Bilang sepupu, trus sekarang
calon tunangan?? Apaan maksudnya??? Bercanda??? Bercanda Lo keterlaluan,
nyet!!! Kampret!!! Kalo bukan temen udah Gue hajar Lo.” emosi Boni yang
akhirnya meledak membuat Ivan bingung harus mulai darimana.
”Sori... Gue juga baru tahu hal ini
semalem. Ternyata nyokapnya Mega itu bukan kakak kandung nyokap Gue. Tapi
mereka sahabatan dari dulu. Dan orang tua Mega nitipin dia ke orang tua Gue
karena janji mereka pas sekolah dulu. Jadi, jangan salahin Gue!! Kalo mau
salahin, salahin nyokap Gue!!! Denger Lo njing??” teriak Ivan tak kalah kerasnya.
”Hoh... Jadi sekarang Lo udah berani
manggil Gue anjing??? Tai Lo!!!” umpat Boni yang sudah tak bisa menahan emosinya.
”Woi!!” teriak Ivan tak kalah kerasnya.
”Apa? Anjing Lo emang...”
”Kenapa Lo berlebihan gini sih...”
“Berlebihan?? Anjing... Lo tau, cewek yang
Gue temuin di bazar? Lo tau cewek yang selama ini buat Gue nggak bisa tidur
nggak enak makan? Lo tau siapa cewek yang Gue sukai itu? Dan apa Lo tau siapa
cewek yang mau Gue tembak hari ini? Apa Lo tau itu?? Anjing...”
“Siapa? Siapa maksud Lo?”
“Dia!! Mega!!! Babi Lo!!! Bangsaatttt!!!
Anjing Lo emang!!!” teriak Boni sambil menunjuk keras ke arah Mega yang sedari
tadi sudah berdiri di depan kedua sahabat yang sedang kalap emosinya tersebut
dengan perasaan tak menentu dan serba salah.
“Bon... Gue, Gue nggak tau kalo Mega yang
Lo maksud... Gue...” Ivan yang mulai mengerti maksud amarah Boni tentu saja
merasa sangat bersalah. Wajahnya yang terlihat ling-lung membuat Boni tersadar
akan sikapnya.
“Tai... Gini bos. Gue nggak berhak
sebenernya marah gini sama Lo. Gue tetep temen Lo. Dan Lo, Lo tetep jadi sahabat Gue.
Sori Gue udah kasar.”
“Bon...” panggil Ivan yang membuat Boni
menyadari sikapnya yang berlebihan pada Ivan sahabatnya.
“Gue mau tenangin diri Gue dulu, Van...
Gue cabut dulu.”
Boni yang setelah merangkul Ivan segera
berjalan menjauhi Ivan yang tengah bingung dengan apa yang sudah dia perbuat
pada sahabatnya, Boni. Karena seharusnya dia bisa lebih mengontrol emosinya.
“Dia... cewek yang Gue suka ternyata
adalah calon tunangan sahabat Gue sendiri. Mega.”
Ibu. Siapa Ibu?
Bukankah sering kita mengatakan kata tersebut. Atau, kita sering memanggil
seorang perempuan yang lebih tua dengan sebutan Ibu. Oke, jika dilihat dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia Ibu adalah panggilan untuk seorang perempuan yang
telah melahirkan kita. Seorang perempuan yang melahirkan kita. Sekali lagi,
seorang perempuan yang melahirkan kita. Seorang perempuan yang sungguh luar
biasa. Kenapa???
Dia, perempuan
yang kita panggil dengan sebutan Ibu itu rela meminjamkan perutnya untuk kita
gunakan tidur selama 9 bulan tanpa henti. Dia rela membawa kita kemana saja dia
pergi. Rela membagi makanan yang dia makan dengan kita. Memberikan segenap rasa
kasih dan sayang untuk kita. Selalu berdoa agar kita bisa lahir dengan selamat
dan kelak bisa menjadi orang yang berguna, hebat dan hormat pada orang tua.
Membawa beban berkilo-kilo di perutnya tanpa mengeluh. Bahkan hanya rasa
bahagia yang dia rasakan. Rasa khawatir karena menunggu hari kelahiran putra
yang dia nanti-nantikan. Dari mulai dia membuka mata di pagi hari hingga dia
menutup mata di malam hari. SUNGGUH LUAR BIASA. SEKALI LAGI, SUNGGUH LUAR
BIASA.
Dia, perempuan
yang kita panggil Ibu itu tidak cukup hanya mengandung kita. Dia juga harus
berkutat dengan rasa sakit yang amat sangat luar biasa. Dia juga harus rela
mempertaruhkan nyawanya demi kita agar dapat melihat warna dunia ini dengan
selamat. Dia tak berpikir apa-apa, dia hanya memikirkan kita. Hanya kita.
Menangis dan menjerit karena rasa sakit yang dia rasakan dapat seketika berubah
menjadi sebuah senyum tanda rasa bahagia dan puas kala mendengar tangisan kita
pertanda bahwa kita dapat melihat dunia dengan selamat. Rasa sakit yang dia
rasakan berubah menjadi rasa bahagia yang tak tertandingi oleh apapun saat itu.
Melihat sosok mungil yang selama sembilan bulan ini tinggal diam di perutnya
bisa keluar dengan selamat adalah impian semua Ibu di dunia ini. SUNGGUH LUAR
BIASA. PENGORBANAN YANG LUAR BIASA. SEKALI LAGI, AMAT SANGAT LUAR BIASA.
Saat kita masih
kecil. Saat kita masih belum bisa apa-apa. Saat kita belum mampu untuk berdiri
sendiri. Saat kita masih lemah. Ibu meletakkan kita di pangkuannya dengan penuh
kasih. Mengajari kita segalanya. Menunjukkan senyum terbaiknya setiap saat. Menyusui
kita. Dia harus makan makanan yang sehat dan bergizi agar kitapun juga
terpenuhi gizi dan kebutuhannya. Dia sungguh tak kenal waktu dalam menjaga dan
mendidik kita. Dia rela jika jatah tidurnya berkurang kala kita membangunkannya
di tengah malam, saat dimana seseorang harus istirahat. Dia juga rela jika
harus kedinginan demi meminjamkan selimutnya pada kita agar kita tidak
kedinginan. Dia juga rela terjaga tiap malam kala kita sakit. Menjaga kita dari
mimpi-mimpi buruk. Setia berada di samping kita dan memastikan semua baik-baik
saja.
Beranjak
dewasa, kita mungkin sudah sedikit menjaga jarak dengan Ibu agar tidak
dipanggil anak Mama. Menyuruhnya menyiapkan segala kebutuhan kita. Membentak
dan memarahinya saat apa yang kita mau tak berjalan sesuai keinginan karena
Ibu. Tak terpikirkah oleh kita, pernahkah Ibu membentak dan memarahi kita saat
kita mengganggu waktu istirahatnya atau kita mengotori pakaiannya dengan air
kencing kita?? Tidak. Dia tidak pernah marah. Dia hanya tersenyum dengan sabar
dan tulus. Saat kita masih kecil, kita seperti tak mau pisah dengannya. Ingin
selau berada dalam pangkuan, pelukan, dan selalu berada di sampingnya. Tapi
saat dewasa, kadang kita harus pura-pura tak mendengar saat Ibu memanggil kita.
Dulu, saat masih kecil, Ibu selalu setia menemani kita bermain dan menghabiskan
waktunya dengan kita. Tapi saat kita beranjak dewasa, kita lupa padanya.Saat kita punya pacar, kita telah lupa
padanya bahkan untuk sekedar menyapanya. Marah jika Ibu melarang kita
berpacaran. Tidak. Ibu tidak bermaksud melukai kita, dia hanya tidak ingin hati
kita tersakiti. Dia hanya merasa sedih jika melihat kita menagis dan disakiti
oleh seorang laki-laki. Dia sungguh ingin yang terbaik untuk kita, untuk
anaknya.
Dia, perempuan
yang kita panggil Ibu itu selalu menyebutkan nama kita dalam setiap doanya. Dia
selalu berharap yang terbaik untuk kita. Jika suatu saat pendapatnya tidak sama
dengan apa yang kita pikirkan, dia hanya ingin yang terbaik untuk kita. Kita
tidak tahu apa yang sudah dia lalui di masa lalu hingga dia melakukannya pada
kita. Dia bersikap keras pada kita, karena dia tidak ingin kita salah dalam
melangkah. Dia sungguh ingin masa depan kita lebih cerah darinya. Tapi kita tak
pernah menyadarinya. Hanya kata, “ Ibu jahat. Ibu kuno.” Dia sakit hati. Dia
menangis dalam hatinya saat kita mengatakan hal-hal yang menyinggung
perasaannya. Tapi dia tak pernah menunjukkan hal itu pada kita. Dia hanya
menangis di atas sujud setiap shalatnya. Air mata tulus, air mata yang sangat
sayang jika harus keluar karena kelakuan kita. Melihat semua yang telah Ibu
berikan dan korbankan selama ini, punya hak apa kita membentaknya. Memarahinya.
Menghakiminya dari sudut pandang kita saja. Lihat! Lihat apa yang sudah dia
berikan padamu. Jiwa, raga, bahkan nyawapun rela dia berikan demi melihat
putra/putrinya tersenyum. Punya hak apa kita bersikap sok tahu sehingga bisa
semena-mena mengatakan Ibu kita tak tau apa-apa. Punya hak apa kita yang hanya
seorang anak bersikap acuh dan menganggap Ibu tak menyanyangi, tak peduli, dan
tak mengerti kita saat dia tak dapat memberikan apa yang kita minta atau
mengabulkan apa yang kita mau. Lihat, lihat kerut wajahnya. Lihat, lihat peluh
yang menetes dari tubuhnya. Lihat, lihat pakaian yang dia pakai. Lihat apa yang
dia pakai. Dia rela mengalah demi melihat anaknya tampil sempurna. Lantas,
punya hak apa? Punya hak apa kamu bersikap kurang ajar pada seorang Ibu!!!!
Sudahkah kita
menyapa Ibu kita pagi ini. Sudahkah kita berbagi kebahagiaan dengan berbagi
senyum dengan Ibu kita. Sudahkah kita mengucapkan terima kasih untuk setiap
pengorbanannya untuk kita. Dan sudahkah kita menyadari bahwa begitu berartinya
Ibu kita. Munafik jika kita mengatakan kita menyanyangi Ibu padahal masih ada
bohong dan rasa kesal di dalam hati kita pada Ibu. Ibu bukan saja seorang
perempuan biasa. Dia adalah malaikat Tuhan yang dikirim untuk menjaga kita,
selalu berada di samping kita saat kita terpuruk. Saat teman, pacar, atau
siapapun meninggalkan kita. Ibu kita tetap setia di samping kita dan membela
kita dengan segala kebaikan dan keburukan yang kita punya. Ibu adalah suatu
pekerjaan yang amat sangat mulia yang gajinya juga tentu saja amat sangat
mahal. Yang tidak dapat dibeli dengan uang, tapi cinta. Cinta tulus yang kita
berikan padanya. Suatu status yang sangat mulia.
Terima kasih
Ibu, terima kasih untuk semua waktu yang telah kau berikan. Dari aku belum bisa
apa-apa hingga kini aku bisa berdiri dan menatap dunia yang keras ini dengan
semangat yang kudapat dari setiap doa dan senyum indah yang selalu kau
lantunkan dan kau tunjukkan sebagai suatu harta yang luar biasa. Ibu itu ibarat
rumah, kemanapun dan dengan dengan siapapun kita keluar dari rumah itu ibu
tetap menjadi tempat kita kembali. Satu-satunya orang yang selalu ada untuk
kita, itu Ibu. I LOVE YOU MOM, YOU ARE MY EVERYTHING. WITHOUT YOU, I CAN BE
LIKE ME NOW. YOU ARE MY ANGEL. YOU ARE MY GUARDIAN ANGEL. THANK YOU MOM… J
Tak
sengaja bertemu dengannya adalah suatu anugerah yang membawa pelajaran yang
sangat berharga sekali. Kenapa? Simple, rasa suka maupun sakit yang pernah dia
berikan membuatku sadar bahwa sebenarnya dunia ini begitu lebar. Bohong kalo
ada yang bilang kalo dunia cuma selebar daun kelor. Kalo memang dunia lebarnya
cuma sebesar/ seluas daun kelor, si Columbus nggak perlu lagi tuh keliling
dunia hingga pada akhirnya nemuin teori bahwa dunia itu bulat.
Kembali
ke cerita… Pertama ketemu, udah tertarik. Dia yang lucu dan apa adanya itu
membuatnya tampak berbeda dengan yang lain. Ibarat sebuah berlian di antara
batu apung biasa. Terdengar berlebihan tapi itu yang kurasakan saat itu. Ingin
mengenalnya lebih jauh. Tapi diri ini nggak berani. Ingin tertawa bareng dia,
tapi diri ini malu. Ingin menghabiskan waktu bersama dia, tapi diri ini bingung
untuk memulainya. Hingga pada akhirnya dia datang dan memperkenalkan diri
dengan begitu ramah dan… ya seperti dia yang apa adanya.
Menjalani
hari demi hari bareng dia tuh rasanya nggak kerasa kalo matahari malam udah
bersinar. Menyenangkan. Hanya itu yang aku rasakan saat berada di dekatnya. Tiap
hari bareng dia udah kayak terapi perut mulu. Ketawa nggak ada habisnya. Ada
aja tuh omongannya yang simple tapi bisa buat aku ketawa atau setidaknya
tersenyum simpul aja.
Awalnya
semua berjalan baik-baik saja. Dia yang terus memperlakukanku dengan baik dan
manis membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya. Tapi semua terasa
berubah saat dia mulai menjaga jarak denganku. Awalnya aku berpikir positif
saja, tapi tidak saat kutahu bahwa ternyata dia sudah punya pacar. Hari itu
nggak akan pernah aku lupain. Sakit. Sangat sakit. Lalu selama ini aku dianggap
apa? Untuk apa memberikan harapan-harapan yang indah jika pada akhirnya hanya
dijatuhkan dari puncak Mount Everest. Itu tinggi, dan jika jatuh pasti akan
sangat sakit sekali. Tanpa dosa, dia kembali datang padaku dengan segala cerita
yang dia bawa dengan pacarnya. Iyu nyesek! Tapi, hati ini memaafkan dia tanpa
pikir panjang. Tangan ini terbuka sangat lebar menyambut dia yang saat itu
diputusin pacarnya.
Aku
yang selalu berada di dekatnya, saat dia merasa di puncak maupun saat dia
merasa terpuruk sekali. Saat dia jatuh, hanya aku yang berani mendekat dan rela
meminjamkan pundak ini untuknya berkeluh kesah. Tapi semua itu tidak ada
artinya lagi kini. Tawa, tangis, ledekan-ledekan gokil, begadang bareng, ngobrol
dari isya` sampai subuh dari mulai hal kecil sampai hal besarpun kita jabanin.
Tanpa lelah dan tanpa keluhan. Janji saling setia selalu bersama, ikrar selalu
peduli dan selalu ingat satu sama lain hanya membuat mata ini tak bisa menahan
air mata setiap mengingatnya.
Berulang
kali dia bohongin aku. Tapi berulang kali pula aku maafin dia. Selalu begitu
hingga berjalan selama satu setengah tahun. Tentunya itu bukan waktu yang
sebentar. Butuh hati untuk saling peduli, menjaga, dan menganggap satu sama
lain ada. Suka senyum sendiri kalo inget semua yang manis. Suka pengen nangis
kalo inget yang pahit. Sekarang dia udah benar-benar menjauh. Pengen lupa, tapi
nggak bisa. Sayang, waktu nggak bisa diputar. Andai waktu bisa diputar. Aku
nggak akan minta agar tidak dipertemukan kamu, tapi aku akan meminta untuk
kembali di saat bahagia dan berhenti di sana. Mungkin itu akan jauh lebih baik.
Tapi tidak. Tidak akan aku minta hal itu, karena aku bisa melangkah jauh ke
depan jauh ke depan tanpa dia. Kenapa tidak? Kalo Amstrong bisa nancepin
bendera ke bulan, berarti aku juga harus bisa keep move on without him.
I
can. I can do that because I`m a tough girl. Bukan aku yang pernah bertemu dan
menghabiskan waktu bersamanya. Tapi aku adalah aku. Aku yang kuat dan tegar.
Aku yang selalu tersenyum menghadapi semuanya. Ya, aku! J