Seorang pria yang selalu keluar rumah setiap pagi dan kemudian kembali
pulang saat sang fajar sudah berada di peraduannya, dialah ayah kita. Seorang
pria yang kita panggil dengan panggilan Ayah tersebut tak kenal waktu untuk
bekerja demi memberikan kita hidup yang layak. Seorang pria yang begitu
menyanyangi kita anaknya lebih dari
apapun. menganggap kita sebagai harta miliknya yang tak ternilai harganya.
memberikan apa yang kita butuhkan, meski kadang sebelum kita memintanya. tapi
sayang, jarang orang yang menyadari hal ini.
pernahkah kita melihat sosoknya dari sisi yang berbeda? coba lihat raut
wajahnya yang kadang terlihat begitu galak saat marah. coba jangan lihat wajah
itu, tapi lihat mata itu saat marah. lihat matanya lebih dalam. mata yang
menggambarkan kekecewaan dan rasa bersalah. merasa kecewa pada kita anaknya
yang tak pernah mau mendengarkan setiap nasehatnya. merasa kecewa pada kita
anaknya karena tak pernah mau memperdulikan setiap kata-katanya. dan tentunya
merasa bersalah. merasa bersalah karena kita yang begitu dia harapkan bisa
menjadi anak yang soleh/solehah ternyata tak bisa menjadi seperti yang dia
harapkan. merasa bersalah karena dia menganggap dirinya tak bisa mendidik dan
mengarahkan kita pada hal-hal yang baik. tapi kita tak pernah bisa melihat hal
itu.
tak jarang dia sering terlihat hanya diam. tidak mengatakan apa-apa. tidak
melakukan apa-apa. tapi dia selalu memberikan dukungannya pada kita. dia selalu
memberikan perhatiannya pada kita meski hal ini kadang tak terlihat. dia memang
tak pernah terlihat menangis di depan anak-anaknya. bukan karena dia memang
begitu super, tapi karena dia ingin terlihat kuat di depan anak-anaknya. dia
tak ingin melihat anak-anaknya menjadi manusia yang lemah dan gampang putus asa
terhadap tantangan dunia yang begitu keras. tapi, tahukah kita akan hal
tersebut?
seorang pria yang tak rela melihat anaknya diperlakukan tidak baik. seorang
pria yang tak rela ketika melihat anaknya dipermainkan. dialah orang pertama
yang akan pasang badan untuk kita saat melihat kita terancam. tapi kita tidak
pernah bisa melihatnya. kita hanya tahu bahwa seorang ayah adalah sosok seorang
pria yang menyandang status kepala keluarga yang tugasnya hanya mencari nafkah
untuk istri dan anaknya. tapi, pernahkah kita menyadari hal tersebut?
masih begitu melekat dalam benak ini saat sosok seorang pria yang kupanggil
ayah ini begitu sabar mengajariku segala hal. dia yang begitu semangatnya saat
mendaftarkanku masuk sekolah dasar meskipun hanya berbekal sebuah sepeda kayuh.
dia yang begitu menyanyangiku, ketika itu baru saja dia pulang dari bekerja
tapi aku sudah merajuk untuk mengajariku pelajaran hari itu. dengan keras dia
mengajariku.hingga akhirnya dengan perlahan aku mulai bisa membaca, berhitung,
dan mengerti segala hal. dia tak pernah protes saat aku memaksanya mengerjakan
tugas sekolahku.
masih teringat dalam bingkai kenangan ini bahwa dia begitu sabarnya
merawatku kala aku sakit. berada di sisiku saat aku membutuhkan bantuannya.
membelikanku buku bacaan dan banyak makanan agar aku segera sembuh dari sakitku.
dia adalah orang yang keras saat aku pertama kali melihatnya. tapi aku tersadar
saat aku berada di bangku sekolah dasar. ketika itu adalah hari pembagian rapor
pada wali murid. melihat nilaiku yang turun kala itu, aku pikir dia akan
memarahiku sama seperti saat aku tak segera mengerti ucapannya saat
mengajariku. tapi ternyata aku salah. dia memanggilku, menyuruhku duduk di
pangkuannya. kemudian pelan dia mengusap rambutku dengan terus tersenyum seraya
berkata, "kenapa? kok nilainya bisa turun? apa yang belum bisa kamu
pahami? apa kamu nggak belajar? kenapa?" begitulah kalimatnya dengan
begitu pelan dan sabar saat itu. sungguh, aku tak bisa berkata apa-apa saat
itu. hanya bisa menahan air mata. bukan karena melihat nilaiku. tapi karena
melihat ternyata begitu besarnya perhatian dan kasih sayangnya padaku, pada
kita anaknya.
mata ini tak bisa menahan air mata. amarah ini tak bisa terbendung saat
mendengar ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. mereka
tak mengenalnya dengan baik. tapi mengapa mereka begitu tak menyukainya. apapun
yang mereka katakan tentangnya, dia tetap saja ayahku yang begitu kuat dan
hebat. tak peduli apa kata orang, dimatanya kita tetaplah anak yang selalu dia
banggakan dimanapun dia berada, meski kita tak pernah mendengar langsung dari
mulutnya. seorang pria yang begitu kagum dan bangga pada kita tapi tak pernah
menunjukkan hal tersebut secara terang-terangan di depan kita anaknya. tapi,
akankah kita bisa mengerti hal tersebut?
ayah. sosok pria sederhana yang selalu berdoa untuk keselamatan kita saat
keluar rumah.sosok pria yang menangis dalam hatinya saat melihat kita anaknya
di wisuda. dia begitu bangga memiliki kita. tapi, selama ini banggakah kita
padanya?
ayah. dia bukanlah seorang manusia super seperti superman. dia hanyalah
seseorang yang selalu berada di belakangmu saat kau akan terjatuh, dia akan
menarikmu kembali ke tempatmu semula. seorang pria yang punya tanggung jawab
besar terhadap istri dan anaknya saat
berada di dunia. bahkan dia masih saja harus bertanggung jawab atas segala
tingkah dan laku istri dan anaknya selama hidup di akherat saat berada di
akherat kelak.
sayangilah ayah kita sama seperti dia menyanyangi kita melebihi dirinya
sendiri. sayangi mereka sebelum semuanya terlambat. jangan tunggu hingga kita tak bisa mendengar
setiap nasehatnya lagi. karena waktu tidak akan bisa diulang kembali. jangan
biarkan dirimu termasuk dalam golongan orang yang menyadari bahwa begitu
berharganya seseorang itu setelah orang tersebut menjauh, hingga pada akhirnya
menghilang untuk selamanya.
terima kasih ayah, terima kasih atas segalanya. terima kasih untuk setiap
nasehat, pengorbanan, dan peluhmu yang menetes selama ini demi kami
putra/putrimu.
Pertama kali melihatnya di tengah
keramaian bazar, mata Boni seperti berhenti berkedip. Dan jantungnya serasa
berhenti berdetak sejenak menikmati keindahan yang telah diciptakan Tuhan
dengan begitu sempurnanya. Seorang cewek yang melihat ke arahnya dengan tatapan
mata dingin dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai, membuatnya terlihat
begitu cantik. Cantik alami. Lama dia menatapnya, entah apa yang dia perhatikan.
Hingga pada akhirnya dia membuang pandangannya dan kemudian berjalan menjauh.
Dan Bonipun tersadar bahwa kini dia telah menghilang di telan kerumunan orang
yang datang malam itu.
Sudah seminggu berlalu setelah bertemu
dengan cewek tersebut, tapi wajahnya masih saja bergentayangan di memori otak
Boni. Berusaha buat membuang memori tersebut, tapi justru malah timbul rasa
penasaran. Ingin tahu siapa dia dan kenapa dia bisa menatapnya sampai seperti
itu.
"Eh, Boni... Punya kerjaan baru Lo?"
Vino sahabat karib Boni yang datang mengagetkan. Membuyarkan lamunannya tentang
cewek itu. Sungguh sahabat yang tidak pengertian.
"Sialan Lo! Bikin semua kacau aja.
Baru juga mulai, udah ganggu aja. kampret!" umpat Boni pada Ivan yang
melihatnya dengan wajah tanpa dosa. Dan itu adalah salah satu hal yang paling
Boni benci dari sahabatnya tersebut.
"Yaelah, habisnya tiap hari nglamun
mulu... Mikirin apa sih? Masih penasaran sama cewek yang Lo temuin di bazar
seminggu yang lalu?"
"Gitulah..." jawab Boni singkat.
"Denger ya, kalo jodoh juga nggak
akan kemana... Inget tuh
baik-baik."
Celoteh Ivan sambil berlalu. Ivan memang
anak yang urakan, tapi apa yang dia ucapkan bagaikan sebuah tetesan air di
tengah panasnya padang pasir. Dari mulutnya jugalah keluar kalimat-kalimat
ajaib yang entah darimana didapatkannya. Setiap apa yang dia ucapkan selalu
saja tepat sasaran.
"Eh, Boni! Mau langsung pulang
Lo?" tanya Ivan saat kami baru saja keluar kelas setelah menyelesaikan jam
kuliah mereka.
"Kenapa?"
"Sepupu Gue dari Jawa lagi main
kesini. Udah seminggu yang lalu sih datengnya... Hari ini Gue disuruh nemenin
buat jalan-jalan. Ikut yuk!"
"Ngapain... Emang Gue tour guide apa?
Kagak ah. Males. Mau
tidur aja di rumah."
"Ayo dong! Lo yang sering kelayapan
tiap hari pasti tahu tempat-tempat kece kan? Gue beliin apa yang Lo mau deh ntar... Gue
kabulin apa yang Lo mau dari Gue deh... Pliisssss..."
Melihat tampang Ivan yang sudah memasang
wajah melasnya, tentu aja Boni nggak tega dan akhirnya ikut saja dengannya
menemui sepupunya yang datang dari Jawa itu.
"Kita ketemunya disini?" tanya
Boni setelah mereka sampai di depan sebuah losmen sederhana.
"Dia nginepnya disini. Makanya nyokap
sekalian nyuruh doi buat pindah ke rumah Gue. Jadi kan Lo bisa bantu-bantu angkat
kopernya sekalian.Hahahaha..."
"Sialan."
Akhirnya firasat buruk Bonipun memang
benar terjadi. Pasti ada satu dua hal yang tidak mengenakan. Dan ternyata hal
itu memang benar terjadi. Si Ivan sialan sengaja mengajak Boni ternyata bukan
hanya sekedar untuk menemaninya berkeliling namun juga membantunya mengangkat
koper. Sungguh keterlaluan sahabat Boni yang satu ini.
"Mana sih sepupu Lo itu? Lama banget
ditungguin. Nggak sadar apa kalo lagi ditungguin." keluh Boni pada Ivan
yang tengah santainya menghisap sebatang rokok sambil duduk di kursi depan
mobil dengan pintu yang dibiarkan terbuka
"Tungguin aja. Masih mandi kali.
Nggak sabaran banget sih Lo!" jawabnya sambil mengepulkan asap rokok dari
mulutnya.
"Tuh dia." tunjuk Ivan yang
kemudian berdiri keluar mobil dan mematikan rokoknya.
Sungguh mengejutkan. Entah ini hanya suatu
kebetulan saja atau mungkin ini adalah takdir, entahlah. Itulah yang dipikirkan
Boni saat melihat seoorang cewek yang keluar dari pintu losmen dengan menarik
sebuah koper kecil sambil tak hentinya memamerkan senyum manisnya. Sungguh
sangat cantik, itulah kalimat yang terus berputar-putar di kepala Boni.
"Dia? Dia sepupu Lo?" bisik Boni
pada Ivan yang tengah sibuk melambaikan tangannya dengan terus memasang senyum
lebar di wajahnya yang dengan sialnya juga, Ivan hanya diam saja tidak menjawab
pertanyaan Boni.
"Hai, Mega! Maen kesini nggak
ngomong-ngomong. Untung budhe nelpon Mama buat ngasih tau kalo kamu ada di
sini." Ivan basa basi.
"Maaf, Van... Jadi ngrepotin. Padahal
niatnya kesini mau maen bentar sekalian nyari tempat kuliah yang bagus trus
pulang. Eh Mama kamu ngasih tahu kalo suruh nginep lebih lama aja. Ya
udah..." terang cewek yang dipanggil Mega oleh Ivan.
"Ehm..." gumam Boni pelan.
"Oiya, kenalin nih temen aku Boni. Dan Bon, ini adik
sepupu Gue Mega yang Gue ceritain." Ivan coba memperkenalkan setelah menyadari keberadaan
Boni di sampingnya.
Boni yang langsung mengulurkan tangan
segera saja dijabat kembali oleh Mega dengan ramah. Lembut tangan dan manis
senyumnya membuat mata Boni tak ingin beranjak menatapnya. Sungguh pesona cewek
ini berhasil menghipnotis otak Boni.
Setelah memutuskan akan pergi kemana yaitu
pulang terlebih dahulu ke rumah Ivan, Ivanpun dengan sigap segera melajukan
mobilnya di tengah keramaian kota. Mata Boni yang kadang mencuri pandang pada
Mega yang sedang duduk di kursi belakang lewat kaca spion membuat Ivan yang
menyadari hal itu penasaran dan ingin tahu.
Keesokan harinya saat Mega diajak Ivan
untuk melihat-lihat kampusnya, karena siapa tahu Mega berminat untuk melajutkan
pendidikannya di tempat yang sama dengannya dan Boni sahabatnya menimba ilmu
tersebut.
"Bukannya kita pernah ketemu, ya? Di bazar seminggu
yang lalu bukan?" Mega membuka pembicaraan saat Ivan meninggalkan mereka
berdua karena masih harus menyelesaikan mata kuliahnya yang lain.
"Apa?! Kamu masih inget
ternyata..." Boni yang mulai salah tingkah dengan kalimat Mega langsung
saja menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal tersebut.
Megapun hanya menjawabnya dengan tersenyum
dan kemudian melanjutkan membaca brosur kampus yang diperoleh dari Ivan.
”Boleh nanya...” akhirnya Boni
memberanikan diri memulai pembicaraan hingga membuat Mega menghentikan membaca
brosur yang ada di tangannya dan menoleh pelan ke arah Boni.
”Kenapa waktu itu, pas kita ketemu di
bazar... Kenapa kamu bisa ngeliatin aku sampai lama gitu...” Boni melanjutkan
kalimatnya setelah mendapatkan anggukan dari Mega tanda mengizinkan Boni untuk
bertanya.
”Itu... Itu karena wajah kamu ngingetin
aku sama almarhum kakakku. Mirip banget. Dia baru meninggal 3 tahun yang lalu
karena kecelakaan.” jelas Mega pada Boni yang terus mendengar dan mencerna kata
demi kata yang keluar dari mulut Mega dengan penuh konsentrasi.
Mendengar penjelasan Mega, jelas membuat
Boni lega. Akhirnya semua teka-teki yang menyelimuti hatinya terungkap sudah.
Mulai dari siapa cewek yang dia temui di bazar seminggu yang lalu hingga kenapa
dia bisa menatap Boni sampai seperti itu terjawablah sudah.
Tiga hari bersama membuat Boni semakin tak
bisa mengendalikan rasa sukanya pada Mega. Mega yang manis, sangat baik, sopan,
lemah-lembut khas gadis Jawa telah membuat Boni ingin segera memilikinya
sebagai pendamping hidup yang selama ini dia dambakan. Sayangnya tampang keren,
penampilan oke, dompet tebel, dan kepopuleran Boni tidak bisa begitu saja
meruntuhkan hati Mega. Banyak cewek di kampus yang ingin menjadi pacar Boni
harus rela ditolak berkali-kali hingga harus menanggung malu. Tapi kenapa
pesona Boni ini seperti tidak mempan untuk Mega, cewek yang begitu disukai Boni
itu.
Setelah semalaman berpikir keras, akhirnya
Boni memutuskan untuk mengutarakan rasa sukanya pada Mega hari ini juga. Karena
Boni takut akan terlambat. Jadi, sebelum semuanya terlambat lebih baik Boni
memilih untuk melangkah terlebih dahulu. Tapi, sebelum dia berangkat bertempur
tentu saja dia harus berpamitan pada sahabat satu-satunya, Ivan. Karena
bagaimanapun juga mereka sudah seperti saudara sendiri.
”Hei, brother!!!” sapa Ivan saat melihat
Boni berjalan ke arahnya saat itu.
”Kemana sih, dicariin susah amat. Udah
kayak kutu Lo!” canda Boni sesampainya di tempat Ivan duduk.
“Kampret... Kutu... Tumben hari ini keren
banget. Ada apa nih...” akhirnya Ivan menanyakan hal tersebut. Jadi Boni tidak
perlu repot-repot harus memulai darimana dia akan bercerita.
”Emm... Gue udah nemuin siapa cewek yang
Gue temuin di bazar. Dan Gue berencana buat nembak dia hari ini juga, bro. Gue takut telat, ntar
malah berabe lagi semuanya.” Boni mulai berbicara.
“Hah?! Masih kepikiran aja sama cewek
misterius itu. Trus, anak mana tuh
cewek...”
”Jangan sekarang. Ntar kalo udah sah Gue
kenalin dia ke Lo. Lagian Lo juga kenal kok sama tuh cewek.”
”Gue? Gue kenal tuh cewek? Siapa? Anak
kampus sini juga berarti... Tapi siapa sih bro?” Ivan yang mulai penasaran
terus memaksa Boni untuk menceritakan semuanya.
”Oiya, Gue juga mau ngasih tau kalo minggu
depan Gue bakalan tunangan.” Ivan yang coba memberitahu kabar baik ini pada
sahabatnya tentu saja membuat Boni sangat terkejut.
”Tunangan? Tunangan sama siapa? Monyet?”
goda Boni pada Ivan yang terlihat berseri-seri saat mengatakan hal tersebut.
”Sialan. Ya sama cewek lah. Bentar lagi
dia kesini. Ntar Lo juga tahu siapa calon tunangan Gue itu. Mukenye nggak asing
kok buat Lo.” tutup Ivan yang membuat Boni semakin penasaran. Karena pasalnya, Ivan
tak pernah terlihat jalan berdua dengan seorang cewek. Bahkan Ivan juga tak
pernah menceritakan sosok cewek yang sedang dekat dengannya akhir-akhir ini,
meskipun mereka selalu menceritakan semuanya layaknya saudara. Jelas saja
perubahan Ivan ini membuat Boni takut akan hal-hal buruk yang terjadi pada diri
Ivan yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri itu.
Tak lama menunggu, kemudian datanglah
seorang cewek yang berjalan ke arah Boni dan Ivan duduk dengan anggun dan
senyum yang terus terpasang di wajahnya. Rambut sebahu yang dibiarkan terurai
terus bergerak seiring dengan langkah kakinya. Sesekali membenahi rambutnya
yang terkadang menutupi wajahnya karena diterpa angin. Mega. Mega yang begitu
mempesona kala itu membuat mereka berdua hanya diam mematung melihat salah satu
keindahan dunia yang diciptakan Tuhan dengan begitu sempurnanya.
”Dia...” ungkap Boni dan Ivan pelan secara
bersamaan. Membuat mereka saling menatap dengan muka serius.
”Van...” panggil Mega pelan saat tiba di tempat Boni dan Ivan duduk
bersama. Suara tersebut membuat tatapan mata kedua sahabat tersebut terlepas
satu sama lain dan segera melihat ke arah suara tersebut. Melihat Mega yang
sudah berdiri di depannya, Ivan segera berdiri di samping Mega dan merangkulnya
mesra. Suatu pemandangan yang aneh di mata Boni untuk ukuran sebuah hubungan sepupu.
Tapi Boni coba untuk memakluminya. Meski ada sedikit rasa cemburu dalam
hatinya.
”My
brother... Ini adalah cewek yang Gue ceritain tadi. Tunangan Gue. Mega.” Ivan membuka suara
yang jelas membuat Boni kaget setengah mati. Bola mata Boni yang langsung
melotot seperti ingin keluar dari tempatnya membuat Ivan merasa seperti telah
membuat Boni terkejut setengah mati.
”Apa?!?! Mega tunangan Lo? Kalian sepupuan
kan? Gue nggak ngerti. Dan
kalo ini cuma jokes. Lo tau ini nggak lucu Van.” Boni akhirnya berani bersuara.
Ivan jelas terkejut dengan sikap Boni yang
menurutnya sedikit berlebihan. Ivan yang memang sama sekali tidak tahu
bagaimana perasaan Boni saat ini tentu saja dia akan berpikir demikian.
”Gua cabut dulu deh. Males Gue lama-lama
disini.” Boni yang sudah tak
bisa menahan amarahnya segera pergi begitu saja. Melihat sikap aneh sahabatnya
tersebut, Ivan segera menyusul Boni.
”Lo kenapa sih, Bon?? Kok Lo gini.”
”Gue kayak gini?? Kayak apa menurut Lo?
Sahabat yang udah Gue anggep kayak saudara sendiri nipu Gue!! Nusuk Gue dari
belakang!! Anjing Lo!!! Bangsat!!! Gila ya... Bilang sepupu, trus sekarang
calon tunangan?? Apaan maksudnya??? Bercanda??? Bercanda Lo keterlaluan,
nyet!!! Kampret!!! Kalo bukan temen udah Gue hajar Lo.” emosi Boni yang
akhirnya meledak membuat Ivan bingung harus mulai darimana.
”Sori... Gue juga baru tahu hal ini
semalem. Ternyata nyokapnya Mega itu bukan kakak kandung nyokap Gue. Tapi
mereka sahabatan dari dulu. Dan orang tua Mega nitipin dia ke orang tua Gue
karena janji mereka pas sekolah dulu. Jadi, jangan salahin Gue!! Kalo mau
salahin, salahin nyokap Gue!!! Denger Lo njing??” teriak Ivan tak kalah kerasnya.
”Hoh... Jadi sekarang Lo udah berani
manggil Gue anjing??? Tai Lo!!!” umpat Boni yang sudah tak bisa menahan emosinya.
”Woi!!” teriak Ivan tak kalah kerasnya.
”Apa? Anjing Lo emang...”
”Kenapa Lo berlebihan gini sih...”
“Berlebihan?? Anjing... Lo tau, cewek yang
Gue temuin di bazar? Lo tau cewek yang selama ini buat Gue nggak bisa tidur
nggak enak makan? Lo tau siapa cewek yang Gue sukai itu? Dan apa Lo tau siapa
cewek yang mau Gue tembak hari ini? Apa Lo tau itu?? Anjing...”
“Siapa? Siapa maksud Lo?”
“Dia!! Mega!!! Babi Lo!!! Bangsaatttt!!!
Anjing Lo emang!!!” teriak Boni sambil menunjuk keras ke arah Mega yang sedari
tadi sudah berdiri di depan kedua sahabat yang sedang kalap emosinya tersebut
dengan perasaan tak menentu dan serba salah.
“Bon... Gue, Gue nggak tau kalo Mega yang
Lo maksud... Gue...” Ivan yang mulai mengerti maksud amarah Boni tentu saja
merasa sangat bersalah. Wajahnya yang terlihat ling-lung membuat Boni tersadar
akan sikapnya.
“Tai... Gini bos. Gue nggak berhak
sebenernya marah gini sama Lo. Gue tetep temen Lo. Dan Lo, Lo tetep jadi sahabat Gue.
Sori Gue udah kasar.”
“Bon...” panggil Ivan yang membuat Boni
menyadari sikapnya yang berlebihan pada Ivan sahabatnya.
“Gue mau tenangin diri Gue dulu, Van...
Gue cabut dulu.”
Boni yang setelah merangkul Ivan segera
berjalan menjauhi Ivan yang tengah bingung dengan apa yang sudah dia perbuat
pada sahabatnya, Boni. Karena seharusnya dia bisa lebih mengontrol emosinya.
“Dia... cewek yang Gue suka ternyata
adalah calon tunangan sahabat Gue sendiri. Mega.”